Kunjungan pertama hari ini adalah ke Lubang Jepang di Taman Panorama,
tempat yang bisa melihat Ngarai Sianok dengan jelas. Di bawah terlihat
sungai tetapi dengan aliran air yang kecil. Dulu katanya sungai itu bisa
dilewati perahu dan lebih menarik karena pengunjung bisa menyusuri
ngarai. Tebing yang menjulang 90 derajat itu memang layak dikagumi
keindahannya. Di kejauhan tampak Koto Gadang, ada jalan setapak menuju
ke sana, tapi tentu kami berpikir 10X untuk menyusur jalan itu.
Di atas di tempat kami masuk ada tempat semacam gazebo untuk
menikmati keindahan panorama, mungkin karena itu disebut taman panorama.
Di sebelah kanan pintu masuk turun ke bawah, terdapat Lubang Jepang.
Tampak peta yang menunjukkan lorong-lorong yang ada di dalam gua. Gua
itu tampak terawat dengan 128 anak tangga dan pengaman semen di seputar
lorong dan lampu neon. Sedangkan di beberapa tempat sengaja dibuat asli
tanpa semen. Lorong-lorong itu memang cukup panjang dan di dalam terasa
dingin, tidak sumpek, karena mempunyai beberapa lorong yang menuju ke
luar.
Kami sengaja meminta seorang pemandu mendampingi kami untuk
mengetahui lebih banyak tentang gua ini. Hanya kayaknya lumayan mahal
Rp. 30.000 untuk hanya kurang dari 1 jam. Gua ini mulai dibangun saat
Jepang masuk, awalnya dibangun hingga 1,5 km menembus hingga Benteng
Fort De Kock dan Jam Gadang tetapi sekarang Cuma 750m. Banyak sekali
romusha atau para pekerja yang dipaksa untuk membuat lubang
persembunyian ini dan tak ada yang tahu berapa yang mati. Menurut cerita
pemandu, para romusha itu berasal kebanyakan dari Jawa. Di lubang itu
ada tempat untuk memenjarakan romusha yang tak mau bekerja atau sakit,
ada juga lubang yang ke arah Ngarai Sianok untuk membuang para romusha
yang mati.
Cukup capek juga kami menyusuri lorong yang ternyata ke depannya akan
dibuat diorama dan musium geologi. Selanjutnya kami naik dan menikmati
pemandangan ngarai. Banyak penjual cinderamata dan lukisan. Di ujung
paling kanan ada menara untuk lebih jelas melihat ngarai, ditemani
monyet-monyet yang menanti uluran kacang turis.
Gua ini ditemukan tahun 1946 pada masa-masa perang kemerdekaan. Tahun
1986 mulai dijadikan tempat wisata dan diresmikan oleh Mendikbud kala
itu, Fuad Hassan.
Segera kami melanjutkan ke Benteng Fort De Kock, tiket per-orang
adalah Rp. 8000 sekalian masuk ke Kebun Binatang. Di dalam ada Rumah
Gadang sebagai musium yang ternyata harus bayar lagi Rp. 1000. Untuk
masuk ke Kebun Binatang melewati jembatan gantung yang cukup unik. Yang
paling menarik bagi kami tentu Rumah Gadang yang dijadikan musium,
Pengunjung bisa melihat sejarah Minangkabau, asal-usul, miniatur
bangunan, macam-macam ukiran, macam-macam tradisi, dan ada juga
binatang-binatang aneh yang diawetkan. Kebetulan gerimis turun dan kami
sekalian berteduh di musium. Sayang ada beberapa koleksi yang rusak
terkena air bocoran atap. Ada cerita yang menarik tentang sejarah
Bukittinggi dan hubungannya dengan perang Padri.
Menurut legenda, Minangkabau dulunya pernah hampir dijajah oleh
Majapahit, tapi berhubung orang minang yang banyak akal mereka
bernegosiasi untuk adu-kerbau. Majapahit membawa kerbau terbesar dan
terkuat dari Jawa sementara orang minang mengajukan anak kerbau kecil
yang masih menyusu tapi di tanduknya diberi buluh tajam yang akhirnya
bisa melukai kerbau dari Jawa hingga mati kehabisan darah, begitulah
legenda turun-temurun arti Minangkabau, kerbau yang menang.
Hujan tak juga reda, padahal perut sudah lapar, maka kami nekad untuk
pulang. Sebelumnya kami bertanya di mana letak Benteng Fort De Kock
yang terkenal itu, kok kami nggak melihat ada benteng. Kami cuma melihat
ada tandon air dari beton yang besar, dan ternyata itulah Benteng Fort
De Kock, yang memang sejak beberapa puluh tahun yang lalu dijadikan
tandon air, jadi pengunjung tak boleh lagi naik hingga ke atas benteng.
Memang dari lokasinya bisa tampak sekeliling Kota Bukittinggi. Di
sekeliling Benteng tersebut terdapat meriam kuno sebagai pertahanan. De
Kock diambil dari nama Jenderal Belanda penakluk Diponegoro, ada yang
menarik dari kisah ini.
Benteng Fort de Kock didirikan tahun 1826 untuk menangkal serangan orang Minangkabau terutama setelah perang Padri (1821-1827).
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.