Selanjutnya
kami merencanakan kepergian hari ini, yaitu menuju Danau Maninjau, 38km
dari Bukittinggi. Danau yg luasnya mencapai 650km persegi dan kedalaman
mencapai 480m ini keindahannya terkenal dan ada ikan khas dari danau
ini yang namanya ikan rinuak, mirip dengan ikan teri kalau di laut. Di
sekitar daerah itu muncul dua nama terkenal, Pujangga Buya Hamka (ada
musiumnya di samping danau), dan Rangkayo Rasuna Said. Untuk menuju
Maninjau ada angkutan bus umum Bukittinggi – Lubuk Basung yang
melewati pinggiran Danau Maninjau.
Pukul 11.30 kami mulai perjalanan, sepanjang perjalanan nampak sawah
nan hijau dan bukit-bukit hijau berhutan heterogen. Pemandangan yang
susah kami dapatkan di Pulau Jawa. Tak heran Sumatra Barat merupakan
tujuan wisata kedua Sumatra setelah danau Toba di Sumatra Utara.
Jalannya pun relatif bagus dan mulus, kecuali di beberapa tempat rusak,
terutama di daerah lereng bukit. Memang semua jalan di Sumatra Barat
dikategorikan rawan longsong. Di beberapa tempat memang ada bekas
longsor yang sudah dibersihkan dan di antara kelok Ampek Puluah Ampek
(44) bahkan ada yang ditutup terpal besar yang ditulis “jangan diambil,
penahan longsor”. Agak-agak mengerikan juga sih melewati jalan yang
berkelok-kelok dan rawan longsor.
Saat kami mencapai kelok 44 cuaca masih cerah berawan tebal, sedikit
langit biru dan sinar matahari menerobos deretan awan. Paling atas
adalah kelok 44, semakin ke bawah angkanya semakin kecil. Nah, di
sekitar kelok 8 ketika banyak kera bermain di pinggir jalan, ban mobil
kami mengenai batu pas di pinggir sebelah dalam.
Mungkin karena batunya yang tajam, sehingga membuat langsung menembus
ban yang lumayan baru itu. Wah kami lumayan kuatir, karena memang tidak
mengecek perlengkapan mobil sebelum berangkat. Ternyata memang betul,
nggak ada kunci pembuka ban. Terpaksa kami berjalan pelan-pelan. Oiya,
di pinggir-pinggir jalan, banyak juga pasangan yang menikmati indahnya
Danau Maninjau di bawah pohon yang rindang. Nah kami sempat juga
berusaha meminjam namun sayangnya tak bisa juga kami membuka ban di
bawah mobil kijang. Akhirnya kami sampai di tepi danau maninjau, segera
mencari bengkel terdekat dan mengganti ban. Sembari kami istirahat di
warung depan bengkel yang untungnya menyediakan rinuak goreng seperti
rempeyek.
Setelah itu kami mencari ban pengganti untuk keamanan kami sekaligus
mengganti ban yang rusak. Kami berjalan ke arah Bayur, kota di pinggir
Danau Maninjau, sempat mampir di Mesjid Raya Bayur yang didisain unik
menarik. Sudah tiga toko ban yang kami tanyai dan nggak ada ban
pengganti yang sesuai, maka kami naik kembali menyusuri kelok 44 menuju
Puncak Lawang. Tentu dengan lebih berhati-hati. Di sebuah pertigaan kami
sempat melihat arah “Paralayangâ€, memang di bukit sebelah Danau
Maninjau menjadi surga olahraga paralayang dengan tempat take-off dari
Puncak Lawang, tempat yang akan kami tuju.
Pk 16.00, sayang sampai di Puncak Lawang, tempat yang katanya
berpemandangan ajaib karena bisa melihat keseluruhan Danau Maninjau
bahkan Samudra Indonesia, tertutup kabut yang cukup tebal. Hujan
rintik-rintik selama kami menunggu ternyata tak menghalau kabut tebal
itu. Setelah berfoto-foto sejenak berlatar belakang Danau Maninjau (yang
tertutup kabut hehe) kami segera pulang menuju basecamp di Bukittinggi.
Perjalanan pulang kali ini lumayan lancar.
Di jalan, Hery nelpon ngajak makan, gayung bersambut. Sampai di
Bukittinggi sudah malam, istirahat dan mandi, langsung lanjut ke Sate
Mak Syukur di Padangpanjang menempuh perjalanan sekitar 1 jam, dan ah
ternyata sudah tutup. Bahkan Sate yang di sebelah Mak Syukur juga sudah
habis, memang waktu sudah menunjuk 20.30. Maka kami makan di restoran
(Padang tentu) di jalan kembali menuju Bukittinggi. Minuman baru yang
aku coba di sini, jus jagung, hmm ternyata enak juga, bener-bener jagung
yang dijus mungkin ditambah gula sedikit. Mak Nyuss.. kalo katanya Pak
Bondan.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.