Terowongan sepanjang 4 km berliku di perut Kota Wisata
Bukittinggi — peninggalan zaman penjajahan Jepang, terbuka untuk kaum
pelancong. Petunjuk tentang apa yang ada di dalamnya, sejauh ini baru
sebatas catatan di gerbang gua.
ATTENTION…! Untuk
kepuasan dan kenyamanan anda, para pengunjung Taman Panorama dan Lobang
Jepang, kami menyediakan jasa pemandu yang berlisensi. Begitulah
gaya pengumuman di kertas lusuh yang ditempel di dinding tebing,
beberapa langkah dari gerbang Lubang Jepang di Ngarai Bukittinggi,
Sumatera Barat.
Lalu di bawahnya, ada selembar kertas lagi berisi tulisan: Pengunjung
yang terhormat. Nikmatilah keunikan serta keindahan Lobang Jepang ini
!!! Mohon jangan melakukan aktivitas yang melanggar aturan serta
perbuatan asusila !!! Semua aktivitas anda termonitor pada kamera kami…
Terimakasih atas perhatiannya, ttd… Penanggung Jawab.
Di sebelahnya — masih pada dinding yang sama, ada panil denah
terowongan di perut Kota Bukittinggi ini. Di situ tertulis petunjuk apa
saja yang ada di dalam gua tersebut. Yaitu, ada mini teater, lorong
maket geologi dan tatakota, lorong patung akrilik, lorong museum
geologi, lorong pameran lukisan dan foto-foto, kafe, lorong duduk &
istirahat, mushala wanita, mushala pria, toilet wanita, toilet pria.
Kemudian, begitu lewat mulut gua segera kita menuruni perut bumi.
Seluruhnya 132 undakan atau anak tangga, sampailah kita di dasar gua.
Atau pada kedalaman 40 meter dari permukaan tanah. Panjang terowongan
total 4 km. Dengan satu pintu masuk dari arah Panorama, jika jalan
langsung ke arah pintu di ujungnya hanya sekitar sekilo. Ada tiga pintu
ke luar di bagian darah Bukit Apik. Tapi cuma dua yang berfungsi. Satu
persis di bawah tebing gardu panorama, telanjur ditutupi sampah.
Di
dalam gua ada penerangan listrik. Lantainya dilapisi konblok. Dinding
serta langit-langit dipoles semen. Menurut Azwarman — Kepala Seksi
Sarana Prasarana Kantor Pariwisata Bukittinggi, pemolesan dinding serta
langit-langit gua ini dilakukan tahun 1974. Ketika terjadi gempa hebat
beberapa waktu lampau, ada bagian terowongan yang retak. Tapi hanya
lapisan semen saja. Sedangkan tanahnya tetap utuh. Unik juga konstruksi
tanah di bawah Kota Bukittinggi ini. Sebab bagian lain yang merupakan
tebing kota ini ada yang runtuh. Longsor parah terjadi di tebing
seberang, bagian dari Nagari Kotogadang.
Pengumuman pada panil di gerbang gua, tinggal sebatas catatan di atas
kertas, rupanya. Sepanjang lorong yang dilewati, masih berupa lubang
asli buatan Jepang. Ada ruang amunisi, yang diberi pintu terali besi. Di
bagian kiri kanan dinding menjelang mulut gua untuk keluar, ada mushala
masing-masing untuk pria dan wanita. Juga toilet sendiri-sendiri, yang
kini masih terkunci. Belum ada air masuk ke sini. “Bak airnya sudah lama
dibikin di atas,” kata Azwarman. “Tapi sampai sekarang belum juga
disambungkan pipa ke sini”.
Menarik dicatat adalah lokasi yang dituliskan sebagai Ruang Romusha alias pekerja paksa (lihat juga : Tak Ada Kerja Paksa).
Tampaknya untuk membuat “Lobang Jepang” sebagai objek wisata, perlu
dilengkapi dengan riset yang akurat datanya. Sehingga penyuguhan aneka
materi tontonan lain — sebagaimana tercantum pada panil di gerbang,
memang memperkaya khazanah pengetahuan publik secara sahih.
Sedikit tambahan, para petinggi Kota Bukittinggi mungkin pernah ke
Mesir. Tentu sempat menyaksikan piramida peninggalan zaman Fir’aun tempo
dulu. Ini sudah lama dijadikan tontonan khas di waktu malam. Puluhan
lampu sorot bermain di padang pasir dihiasi suara, terkenal sebagai sonne et lumiere alias suara dan cahaya.
Juga di Thailand. Ingat, ada film yang dibintangi Alec Guines bernama Bridge on the River Kwai.
Jembatan ini dikerjakan tahun 1943 oleh Jepang, dengan mengerahkan
tawanan perang yang terdiri dari pasukan Sekutu serta romusha dari Asia.
Proyek berdarah ini tulen kerja paksa untuk menghubungkan bagian daerah
Thailand dengan Burma. Lokasinya di Provinsi Kanchanaburi, 130 km di
barat Kota Bangkok.
Drama sekitar jembatan itu, kini merupakan bahan tontonan malam —
menggunakan pola suara dan cahaya pula. Konsep serupa tampaknya bisa
diterapkan untuk atraksi khas Lubang Jepang di Bukittinggi.
Tak Ada Kerja Paksa
ADALAH Hirotada
Honjyo, lahir 1 Januari 1908, di kota kecil Iizuka, Provinsi Fukuoka,
Kepulauan Kyushu, Jepang Selatan. Tamatan Fukultas Hukum, Hosei
University, Tokyo, penggemar olahraga rugby ini, bekerja di perusahaan
tambang batu bara, Asou Koggyo. Ia beroleh pengetahuan dasar tentang
pertambangan dan terowongan. Berikut ini penuturannya yang ditulis
tanggal 17 April 1997. Ia meninggal dunia tahun 2001.
Honjyo-san harus membuat “lubang perlindungan” di Ngarai Bukittinggi,
atas instruksi Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Bala Tentera
Jepang, Letjen Moritake Tanabe. Waktu itu, ia berpangkat Kapten Angkatan
Darat, perwira staf keuangan, sebagai jurubayar, untuk merencanakan,
membuat dan mengawasi pelaksanaan sebuah “lubang perlindungan”.
Semua berkas mengenai rencana, gambar, spesifikasi dan anggarannya,
sudah tidak ada lagi. Semua dibakar sesaat balatentara Jepang kalah,
tanggal 15 Agustus 1945, sesuai perintah Panglima Letjen Moritake
Tanabe. “Walaupun telah lewat 50 tahun lebih, saya masih ingat
menggambarkan dan menyatakan cara pembuatan dan perencanaan pelaksanaan
lubang lindungan tersebut,” kata Hojyo-san.
Konstruksinya mulai dikerjakan bulan Maret 1944, dan selesai pada
awal Juni 1944. “Hal ini tidak bisa saya lupakan, karena sampai sekarang
ada album kenang-kenangan yang saya simpan,” katanya. Pembuatan
terowongan dikerjakan di bawah pimpinan tiga ahli tambang batubara,
dikirim dari perusahaan Hokkaido — Tanko Kisen Co. Perusahaan tambang
batu bara terkenal di Hokkaido ini selama pendudukan balatentera Jepang,
juga mengerjakan tambang batubara Ombilin.
Ketiga ahli terowongan itu adalah (1) Ir. Toshihiko Kubota, sebagai
ketua, (2) Ir. Ichizo Kudo (3) Ir. Uhei Koasa. Mereka sudah meninggal.
Selain dari orang-orang Jepang, ada juga beberapa orang Indonesia yang
bekerja di tambang batubara Ombilin diperbantukan mengerjakan “lubang
perlindungan” ini.
Konstruksi lubang perlindungan tersebut dijalankan menurut pembagian
peranan keahlian, dengan contoh “sakiyama” membuat tambang batubara yang
digali, kemudian diteruskan dengan “atoyama” atau mengambil galian
“sakiyama” tersebut. Jadi “atoyama” dikerjakan sesudah pelaksanaan
“sakiyama.” Urusan “sakiyama” dikerjakan oleh ahli-ahli bangsa Jepang,
kemudian secara “atoyama” dikerjakan orang-orang Indonesia dan
buruh-buruh harian.
Mereka yang menggali dan membuat dinding kayu untuk menahan
reruntuhan. Lubang dibuat sempit, dapat dilalui seorang dengan membawa
alat-alat pengebor, sehingga tidak dapat dikerjakan oleh banyak orang.
Tiap hari rata-rata memerlukan tenaga kerja 50 atau 100 orang. Para
pekerja ini didatangkan dan disediakan oleh Kantor Kotapraja
Bukittinggi, yang terdaftar dan dibayar sebagai buruh harian. Mereka
membawa bekal makanan sendiri untuk makan siang.
“Saya adalah seorang perwira staf keuangan, sebagai ahli jurubayar
dan selama bertugas tidak menggunakan kekuasaan tentara dan fasilitas
lainnya,” kata Honjyo-san. “Kepada saya diperbantukan seorang sersan
dari Markas Besar Panglima dan beberapa lori untuk keperluan angkutan
kerja”.
Selama tiga bulan bertugas, katanya, tidak ada terjadi insiden atau
kecelakaan. Dan selama bertugas tidak menggunakan senjata, baik senjata
berupa pedang samurai maupun senjata api lainnya. “Lubang perlindungan
Jepang” itu tidak merupakan benteng pertahanan. tapi hanyalah lubang
untuk melindungi diri. Supaya terhindar dari serangan bahaya udara.
Instruksi Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang itu
menyebutkan lagi: (1) membuat sebuah lubang perlindungan yang bisa
menahan getaran letusan bom sekuat 500kg. (2) membuat lubang
perlindungan yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan untuk keperluan
Markas Besar, ruang kantor dan fasilitas-fasilitas lainnya untuk
keperluan Divisi ke-25 Angantan Darat.
Konstruksi lubang perlindungan tersebut tidak rahasia dan tidak ada
yang perlu dijaga. Untuk bisa menahan getaran letusan bom di atas 500kg,
perlu penggalian sedalam 40-meter dari permukaan bumi atau 20-m dari
ujung penggalian jurang tebing. Untuk menguatkan dan kokohnya dinding
lubang, dibuat bentuk “torii-gumi” — menyerupai pintu depan lambang
agama Shinto. Yaitu bagian bawah lebih besar daripada bagian atas.
Lubang perlindungan ini terbagai dua. Satu blok khusus untuk
keperluan Markas Besar Divisi ke-25 Angkatan Darat. Satu blok lagi yang
lebih aman terhindar dari serangan bahaya udara, dapat melindungi dan
menyembunyikan diri. Tiap ruangan dihubungankan dengan jalan udara dari
ujung jurang tebing yang agak besar sampai ke ujung yang lebih kecil.
Sehingga udara segar bisa leluasa berlalu-lintas di dalamnya.
Kapasitas lubang tersebut direncanakan untuk 500 orang. Ditambah
dengan k pegawai kantor bisa mencapai 1000 orang dalam keadaan darurat.
Di dalam lubang perlindungan tersebut tidak ada dapur. Sebab kalau
memasak, akan mengurangi zat asam, mengeluarkan asap yang mengusik
oksigen. Dengan kata lain, rancangan membuat kafe di dalamnya nanti
perlu dipertimbangkan masak-masak.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.