Dulu nama pelabuhan Teluk Bayur adalah Emmahaven
(Pelabuhan Emma), merujuk ke Ratu Emma. Orang Padang sendiri kini
mungkin tak banyak tahu. Ada jalur kereta ke pelabuhan tersebut, yang
letaknya 5km di selatan pusat Kota Padang.
Di sebelah
pelabuhan ada pulau kecil tak jauh dari pantai. Orang Belanda
menyebutnya Apenberg (Gunung Monyet), karena banyak monyet di sana. Nama
Gunung Monyet ini masih dikenal sampai sekarang, meskipun monyet-monyet
penghuninya sudah tidak ada lagi. Bagi generasi muda Padang, fakta ini
bisa menjawab mengapa pulau itu dinamakan demikian. Perlu juga diketahui
bahwa Gunung Monyet itu dulu dipakai untuk pemakaman Tionghoa.
Di 1890
Pelabuhan Ratu Emma itu direnovasi dan baru selesai di 1895 alias
pengerjaannya memakan waktu 5 tahun. Ini sekaligus menunjukkan bahwa
Belanda dalam mengerjakan proyek-proyek infrastruktur sangat ketat,
tidak boleh melenceng dari bestek. Hasilnya, peninggalan-peninggalan
infrastruktur dan bangunan Belanda masih kuat sampai sekarang, seolah
tak lapuk dimakan zaman.
Renovasi dan
pelebaran pelabuhan ini diharapkan dapat meningkatkan perdagangan.
Sebelumnya dibutuhkan waktu sampai berpuluh tahun untuk meyakinkan
pemerintah pusat Belanda mengenai pentingnya renovasi dan pelebaran
Pelabuhan Ratu Emma itu. Den Haag saat itu menganggap letak pelabuhan
ini terlalu jauh dan kalah penting dibandingkan Batavia (Tanjung Priok).
Sebelumnya
mulai 1850 sudah dirintis pelayaran langsung Batavia-Padang dengan kapal
uap. Padang terbukti kemudian mempunyai cukup potensi untuk berkembang.
Untuk mendorong perkebunan dan perdagangan sektor kopi, pemerintah
Belanda saat itu menurunkan pajak di ranah Minang untuk komoditas kopi. Sebagai syaratnya, penduduk Minang harus menjual panen kopinya hanya kepada gouvernement (pemerintah).
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.