Kab. Solok
Satu-persatu
Rumah Gadang lapuk dimakan rayap, hingga akhirnya runtuh, lantas
berdiri rumah-rumah beton berasitektur ala eropa, spanyol dan lainnya
yang jauh lebih kokoh. Zaman semakin canggih, cara berfikir orang
Minangkabau kian maju, modereninasi perlahan-lahan menjadi gaya hidup
masyarakat Minangkabau yang dahulu kental.
Oleh : Yulicef Anthony
Di Minangkabau, ketika seorang mamak (paman) hendak berkunjung ke kediaman kemenakannya, teryata begitu sampai di halaman rumah nan gadang (rumah gadang) tidak langsung saja menaiki jenjang dan mengetuuk pintu. Melainkan ada tata kramanya, dimana si mamak mesti berdiam dulu sejenak melihatsituasi, selanjutnya berputar agak dua kali mengelilingi pekarangan rumah sembari menghela seutas daun kelapa kering.
Seandainya sipenghuni rumah tidak ada tampak disekitar pekarangan, sang mamak kembali berdiri di depan seraya butuk-batuk kecil. Setelah ada sahutan dari dalam rumah dan mempersiahkan masuk, barulah mamak tersebut menaiki jenjang menuju pintu beranda. †Oo.. mamak kironyo, naiak lah kaateh rumah mak (mamak rupanya, silahkan masuk ke dalam rumah mak),†kira-kira demikian kata si Upiak dengan hati senang menyambut kedatangan mamaknya (sebut saja demikian nama pemilik rumah-red).
Begitu mamak telah duduk diberanda, si Upiak yang berkerudung, berbaju kurung dan kain sarung tersebut pun bergegas ke belakang, mempesiapkan secangkir kopi disertai makanan ringan seadanya untuk mamaknya. Setelah meneguk air kopi, mencicipi hidangan dan menyuluti api ke rokok daun nipah, baru mamak bertanya kabar kemenakan, semenda hingga cucunya dikeluarga itu. Perlahan-lahan masuk ke inti persoalan dan bercerita soal ini dan yang dirasa perlu. Biasanya mamak dalam berbicara selalu menggunakan kata-kata kiasan yang enak didengar, dan bertutur sehalus mungkin.
Demikian benar kepribadian orang Minangkabau, meskipun dilingkungan keluarga sendiri tetap berusaha bertata-krama dan beradat. Kalangan perempuan di Minangkabau disebut limpapeh rumah nan gadang, kehormatan sesuatu kaum juga tertompang di pundak kaum perempuan, mereka sekaligus akan menjadi pewaris pusako secara turun-temurun menurut garis keturunan ibu (matrilinier). Rumah Gadang selain tempat dibesarkannya anak-anak Minangkabau juga menjadi tempat beradat, sekaligus tempat dilangsungkannya upacara adat dilingkungan kaum. Mamak disuatu kaum atau suku juga disebut tunganai Rumah na Gadang, berhak mengambil keputusan bila itu diharuskan.
Namun itu dulu, legenda berpuluh tahun silam di Solok. Sekarang zaman sudah semakin canggih, cara berfikir masyarakat sudah menembus angkasa luar, modereninasi perlahan-lahan mengikis gaya hidup masyarakat yang dahulu kental. Satu-persatu Rumah Gadang lapuk dimakan rayap, hingga akhirnya runtuh, berganti rumah-rumah beton berasitektur ala eropa, spanyol dan lain sebagainya yang jauh lebih kokoh. Suatu saat nanti mungkin kejayaan dan kenangan Minangkabau dengan rumah bagonjongnya akan menjadi cerita indah untuk didongengkan ke anak cucu.
Turut menyealkan, Dikukuhkan Hukum Adat
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kota Solok, Yanuardi Dt.Tanali turut menyesalkan kenyataan tersebut, dari tahun-ketahun jumlah Rumah Gadang di Kota Solok juga terus menyusut. Seolah-olah kini masyarakat kurang peduli memelihara dan mempertahankan Rumah Gadang, sehingga seiring berjalannya waktu sejumlah rumah pusako (pusaka) berangsur lapuk. Mereka lebih dominan memilih membangun dan mempercantik rumah dari beton, padahal diminangkabau jelas Rumah Gadang termasuk jatidiri.
Menurutnya menyusutnya Rumah Gadang atau rumah adat di Minangkabau juga tidak terlepas dari pesoalan sengketa kaum, sngketa sako dan pusako. Akibatnya adat yang berarti raso jo pareso pun menipis, di zaman sekarang tidak terlalu banyak orang yang mengerti tentang adat.
"Mengantisipasi persoalan itu, kini KAN Kota Solok telah membentuk Tim Sepuluh untuk menggodok hukum adat yang lazim disebut peraturan nagari (pernag), nantinya berfungsi sebagai pedoman atau undang-undang di dalam korong dan kampuang,"imbuh yanuardi pula
Oleh : Yulicef Anthony
Di Minangkabau, ketika seorang mamak (paman) hendak berkunjung ke kediaman kemenakannya, teryata begitu sampai di halaman rumah nan gadang (rumah gadang) tidak langsung saja menaiki jenjang dan mengetuuk pintu. Melainkan ada tata kramanya, dimana si mamak mesti berdiam dulu sejenak melihatsituasi, selanjutnya berputar agak dua kali mengelilingi pekarangan rumah sembari menghela seutas daun kelapa kering.
Seandainya sipenghuni rumah tidak ada tampak disekitar pekarangan, sang mamak kembali berdiri di depan seraya butuk-batuk kecil. Setelah ada sahutan dari dalam rumah dan mempersiahkan masuk, barulah mamak tersebut menaiki jenjang menuju pintu beranda. †Oo.. mamak kironyo, naiak lah kaateh rumah mak (mamak rupanya, silahkan masuk ke dalam rumah mak),†kira-kira demikian kata si Upiak dengan hati senang menyambut kedatangan mamaknya (sebut saja demikian nama pemilik rumah-red).
Begitu mamak telah duduk diberanda, si Upiak yang berkerudung, berbaju kurung dan kain sarung tersebut pun bergegas ke belakang, mempesiapkan secangkir kopi disertai makanan ringan seadanya untuk mamaknya. Setelah meneguk air kopi, mencicipi hidangan dan menyuluti api ke rokok daun nipah, baru mamak bertanya kabar kemenakan, semenda hingga cucunya dikeluarga itu. Perlahan-lahan masuk ke inti persoalan dan bercerita soal ini dan yang dirasa perlu. Biasanya mamak dalam berbicara selalu menggunakan kata-kata kiasan yang enak didengar, dan bertutur sehalus mungkin.
Demikian benar kepribadian orang Minangkabau, meskipun dilingkungan keluarga sendiri tetap berusaha bertata-krama dan beradat. Kalangan perempuan di Minangkabau disebut limpapeh rumah nan gadang, kehormatan sesuatu kaum juga tertompang di pundak kaum perempuan, mereka sekaligus akan menjadi pewaris pusako secara turun-temurun menurut garis keturunan ibu (matrilinier). Rumah Gadang selain tempat dibesarkannya anak-anak Minangkabau juga menjadi tempat beradat, sekaligus tempat dilangsungkannya upacara adat dilingkungan kaum. Mamak disuatu kaum atau suku juga disebut tunganai Rumah na Gadang, berhak mengambil keputusan bila itu diharuskan.
Namun itu dulu, legenda berpuluh tahun silam di Solok. Sekarang zaman sudah semakin canggih, cara berfikir masyarakat sudah menembus angkasa luar, modereninasi perlahan-lahan mengikis gaya hidup masyarakat yang dahulu kental. Satu-persatu Rumah Gadang lapuk dimakan rayap, hingga akhirnya runtuh, berganti rumah-rumah beton berasitektur ala eropa, spanyol dan lain sebagainya yang jauh lebih kokoh. Suatu saat nanti mungkin kejayaan dan kenangan Minangkabau dengan rumah bagonjongnya akan menjadi cerita indah untuk didongengkan ke anak cucu.
Turut menyealkan, Dikukuhkan Hukum Adat
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kota Solok, Yanuardi Dt.Tanali turut menyesalkan kenyataan tersebut, dari tahun-ketahun jumlah Rumah Gadang di Kota Solok juga terus menyusut. Seolah-olah kini masyarakat kurang peduli memelihara dan mempertahankan Rumah Gadang, sehingga seiring berjalannya waktu sejumlah rumah pusako (pusaka) berangsur lapuk. Mereka lebih dominan memilih membangun dan mempercantik rumah dari beton, padahal diminangkabau jelas Rumah Gadang termasuk jatidiri.
Menurutnya menyusutnya Rumah Gadang atau rumah adat di Minangkabau juga tidak terlepas dari pesoalan sengketa kaum, sngketa sako dan pusako. Akibatnya adat yang berarti raso jo pareso pun menipis, di zaman sekarang tidak terlalu banyak orang yang mengerti tentang adat.
"Mengantisipasi persoalan itu, kini KAN Kota Solok telah membentuk Tim Sepuluh untuk menggodok hukum adat yang lazim disebut peraturan nagari (pernag), nantinya berfungsi sebagai pedoman atau undang-undang di dalam korong dan kampuang,"imbuh yanuardi pula
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.