Melakukan perjalanan menyusuri jalan berliku ke Pesisir Selatan sana di
awal tahun 2009 ini tentu menarik. Saya dan seorang teman yang hobi
memotret ombak, berencana hendak berangkat mencari tempat memotret
sepanjang ombak yang berdebur. Pagi sekali teman saya telah menyalakan
motor, berarti rencana yang kami bikin dari semalam akan segera kami
laksanakan: ke Cingkuk.
Deru mesin motor meraung sudah. Meyusuri jalan menanjak, menurun, tikungan setengah lingkaran yang kerap berpasir dan berlobang. Dari Teluk Bayur yang sibuk, samudera Hindia membentang luas di kanan, dan deretan dingin Bukit Barisan menjulang di sebelah kiri. Kabut tipis turun menerpa kaca helmet yang menutup wajah dan kepala kami.
Deru mesin motor meraung sudah. Meyusuri jalan menanjak, menurun, tikungan setengah lingkaran yang kerap berpasir dan berlobang. Dari Teluk Bayur yang sibuk, samudera Hindia membentang luas di kanan, dan deretan dingin Bukit Barisan menjulang di sebelah kiri. Kabut tipis turun menerpa kaca helmet yang menutup wajah dan kepala kami.
Ulah jalan yang banyak lubang, dan cuaca yang tak menentu kadang hujan deras kadang panas terik membuat jarak membentang Padang-Painan membutuhkan waktu tiga jam lebih, yang seharusnya lebih cepat. Tiga kilometer dari ibu kabupaten Pesisir Selatan itu, kami memilih satu belokan jalan mengarah ke laut.
Rumah-rumah kayu menghadap laut, tiang-tiang penyangga menghujam bibir pantai dihempas buih putih pantai barat pulau Sumatera. Angin berkisar pelan. Seorang pemuda menyapa kami dan menawarkan duduk dengan dialeg pesisir yang lantang.
“Beruntung sekali, beliau orang yang tepat untuk diajak ke sana. Sebentar saya panggilkan,” tutur lelaki itu setelah mengetahui niat kami.
Setelah bersalaman dengan kami ia menyebut namanya Antos, dan ia banyak bicara tentang mitos-mitos, penunggu-penunggu pulau Cinkuk. Ia berbincang sembari tersenyum: keramahan masyarakat pesisir yang nyentrik. Sejenak ia berajak memanggil seseorang dalam rumah yang menghadap laut itu. Tak berapa lama seorang lelaki bertubuh gempal keluar menghampiri kami. Heri Sumardi namanya, akrab dipanggil Bang Eri. Kulitnya yang kuning kemerahan ditempa sengat matahari, juga leluconnya yang nakal, tidak membuatnya terlihat seperti lelaki berumur paruh baya. Setelah berbincang, kami berangkat bersama Eri dan Antos.
Perahu kecil dengan mesin tempel seadanya akan siap mengantar mengelilingi pulau-pulau kecil itu. Perahu merayap di sela gelombang samudera Hindia yang biru. Masyarakat di pesisir menamai pulau itu pulau Cingkuk.
Pulau kecil yang terletak di sebelah barat Painan. Pulau kecil itu dikerumuni enam pulau kecil lainnya seperti pulau Penyu, P. Babi, pulau Semengki kecil dan besar, pulau Aua, dan pulau kereta—dapat di tempuh dengan 10 menit dengan tongkang bercadik kayu dari dermaga-dermaga kecil yang dibuat penduduk di pantai Cerocok Painan.
Matahari menampakkan rona keemasan jatuh di sela bebatuan. Memasuki pulau cingkuk—setelah beberapa langkah dari pinggir pantai—kami dihapkan pada sebuah gerbang benteng yang berlumut setinggi tiga meter. Tembok tinggi itu memanjang di tengah pul;au kecil itu. Berwarna kuning, coklat tua, diselingin hiaju lumut.
Ada juga beberapa bagian yang telah retak. Menengok ke arah kiri, sebuah menumen semen beratap seng berpagar besi berukuran 2X3 meter. Monumen itu bertuliskan nama-nama Portugis dan (mungkin juga) Belanda. MONSIEUR THOMAS VAN KEMPEN dan PIERRE PORTANT juga nama-nama lain. Di baris akhirnya tertera POELOE TJINKO 6 AOT 1911 dan R.I.P. Beberapa badan monumen itu retak.
Konon, pulau Tjinko (nama seorang Portugis dengan dialeg setempat disebut Cinkuk) berabad silam adalah sebuah Bandar tempat perdagangan rempah dan hasil tambang (emas dan batubara) yang diangkut dari pantai barat Sumatera. Hingga sekarang masih terlihat wilayah tambang yang beroperasi tak jauh dari pulau itu.Tjinko, seorang pelaut Portugis, diperbolehkan tinggal menempati pulau kecil itu oleh raja pesisir sekitar abad ke-16. Begitu cerita yang beredar.
Sepeninggal Lian, kakak tertua Eri yang meninggal tahun 2005 silam, pulau itu seperti kehilangan penjaga. Lian sering berdomisili di pulau itu sejak tahun 40-an. Dulu banyak para arkeolog berdatangan ke pulau itu, Lian tinggal dan berumah kayu di pulau itu. “Cuma beliau yang sanggup,” tutur Eri. Sebelum tahun 1996, Lian didatangi tamu beberapa orang yang ingin menginap ke pulau itu, dan Lian mengizinkannya.
Keesokan harinya Lian tergagap melihat monumen batu makam orang Portugis yang dibangun 1911 itu telah retak dan berlobang seperti habis digali. Beberapa orang yang kemarin menginap telah lenyap. Maka, tepat tanggal 4 Januari 1996 pulau itu dicap sebagai pulau cagar budaya dengan ditegakkannya palang seng dan dibangunnya pagar besi sekitar makam sekaligus dikunci. Begitu cerita Eri.
Saat berada di atas bukit kecil di Cingkuk/Tjinko, matahari surut. Di puncak benteng-benteng intai telah rapuh didera musim. Kemudian kami turun seiring senja yang surut. “Sudah Magrib. Tak baik,” kata Eri. Mesin tempel berkekuatan kecil itu menderu membawa kembali.
Tiap hari, pulau itu biasanya hanya dikunjungi paling banyak 20 pengunjung. Tapi pada hari-hari libur, pengunjung akan meningkat, begitu kata Eri. “Cuma ini ganti beli minyak, Bang…” kata teman saya menyelipkan lembaran 50 ribu dibawah gelas kopi Eri. Selepas Isya kami berangkat ke Padang
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.