Kamis, 06 Oktober 2011

Menelusuri Perkampungan Para "Koboi"

Kota Bukittinggi

Sepintas lalu, bila melewati kawasan Bukit Ambacang, Kecamatan
Mandiangan Koto Selayan, Kota Bukittinggi, di sore hari, kita akan
teringat film-film koboi yang mengambil setting di Negara Bagian
Arizona, Amerika Serikat. Di jalanan kecil berlubang-lubang sepanjang
kurang lebih 2 Km, itu kita akan sering berselisih dengan warga yang
berjalan seiring dengan kuda.

Tak
jarang pula, segerombolan kuda berjalan tanpa induk semang. Mereka
seperti sudah terbiasa mengingat jalan pulang. Ributnya suara ringkikan
hewan khas koboi, di tambah teduhnya daerah yang disekelilingnya
ditumbuhi pepohonan hijau, itu melupakan orang-orang di sana akan
hiruk-pikuk suara kendaraan di pusat kota.

Di kanan-kiri jalan,
di samping terlihat rumah penduduk, terdapat sejumlah bangunan serupa
rumah-rumah petak berderet 5-10 ruang. Ukurannya masing-masing petak
sekitar 2x3 meter. Bahagian depan bangunan-bangunan dari beton itu
dibiarkan terbuka, cuma ditembok setinggi 1,5 meter dan diberi pintu
dari besi serupa pagar rumah gedongan. Dari bagian terbuka itu,
terlihat jelas penghuninya berdiri tegap. Sesekali terdengar suara
mirip dengkuran.

Di depan kandang-kandang tersebut, terdapat
pula sebuah halaman seukuran lapangan voli yang diberi pagar kayu. Di
atas tanah-tanah tersebut bertaburan bekas tapak kaki kuda. Pedok,
demikian orang-orang disana menyebutnya, digunakan sebagai tempat
bermain kuda.

Namun, tak seperti di dalam film koboi, tak ada
warga yang menenteng pistol di daerah yang terletak di samping
gelanggang pacuan kuda Bukit Ambacang itu. Pakaian mereka juga bukan
seperti pakaian koboi. Kebanyakan cuma berbaju kaus dan celana pendek,
dilengkapi sendal jepit atau beberapa diantaranya memakai sepatu boot.

Pun
warga yang kebanyakan anak muda itu tidak menunggangi kuda-kuda yang
mereka bawa. Mereka juga bukan pemilik kuda. Para "koboi" itu umumnya
bekerja sebagai pengasuh dan perawat kuda (groom) yang dibayar oleh
orang-orang berduit, baik dari dalam maupun luar daerah, bahkan luar
negeri, yang mengontrak tanah untuk kandang kuda mereka di sana.

"Kuda-kuda
yang dipelihara di sini umumnya kuda pacu," kata Feri (25), pemuda asal
Kapau yang telah 10 tahun menjadi groom. Seperti rekan-rekannya yang
lain, dia tinggal di sebuah ruangan di samping kandang kuda. Dengan
demikian dia bisa memberi makan kuda dua kali sehari. Sekali pukul
09.00 WIB, setelah itu satu jam menjelang maghrib. Tugas Feri tiap hari
juga membersihkan kuda jantan bernama Mata Hati tersebut. Selain itu
dia juga diharuskan membawa kuda mengelilingi gelanggang Bukit
Ambacang, tiap pagi dan petang.

Sebagaimana atlet, kuda pacu
juga diharuskan latihan teratur. Namun, untuk latihan, tidak merupakan
bagian dari pekerjaan para groom. "Kami cuma membawa kuda keliling
gelanggang untuk pemanasan. Yang membimbing kuda latihan adalah joki,"
kata Feri.

Jadwal latihan telah disepakati oleh seluruh
pemilik dan joki, yaitu pagi hari sekitar pukul 06.00-09.00 WIB. Pada
hari Senin, Selasa, Kamis dan Jumat kuda menjalani latihan drap, yaitu
jalan cepat.

Selain itu, guna meningkatkan kemampuan pacu,
kuda juga dilatih canter (lari) dua kali seminggu. Hari Sabtu canter
panjang (keliling gelanggang), dan hari Rabu canter pendek (semacam
sprint). Sementara hari Minggu cuma jalan-jalan keliling gelanggang
bersama groom.

Setelah kuda latihan bersama joki, para groom
kembali membawa kuda ke kandang. Di sana kuda akan dimandikan dan
dikompres dengan air hangat, supaya pegal-pegalnya hilang. Setelah itu,
baru diberi makan. Makanan kuda pacu jauh berbeda (lebih mahal)
dibanding kuda yang digunakan untuk menarik bendi.

Bila kuda
bendi cuma diberi makan rumput, dedak dan sagu, kuda pacu tak kenal
makanan tersebut, kecuali sedikit rumput. Beberapa mereka makanan
bervitamin semacam pelet yang biasa diberikan adalah: sustena (100
Kg/bulan), grand fix (50 Kg/bulan), relis (25 Kg/bulan) dan ots (25
Kg/bulan). Total biaya makanan tersebut ditambah multivitamin lain
perbulannya adalah Rp 2,4-5 juta.

Melihat jumlah pengeluaran
yang harus ditanggung untuk makanan dan vitamin kuda, itu jelaslah
bahwa pemiliknya rata-rata orang kaya. Belum lagi upah groom yang
menurut Feri berkisar Rp 800.000-1.000.000/bulan. Itu tentu belum
termasuk harga kuda itu sendiri, yang rata-rata di atas Rp 50 juta
hingga ratusan juga.

Feri sendiri saat ini bekerja untuk
pengusaha toko bangunan di Bukittinggi. Sejumlah nama lain yang juga
pemiliki kuda dan kandang di sekitar itu adalah Walikota Ismet Amzis,
Ketua KONI sekaligus anggota DPRD Fauzan Havis, anggota DPR RI Djufri
dan pengusaha gipsum, Ramlan Nurmatias.

Tawaran gaji tetap pula
yang menyebabkan Feri rela meninggalkan bangku sekolah SMP kelas 2, 10
tahun lalu. "Waktu itu saya telah candu memegang tali kekang kuda, jadi
lebih memilih menjadi groom daripada melanjutkan sekolah. Lagi pula
bayarannya kan lumayan. Selain itu, bila kuda menang dalam lomba, saya
juga dapat 5 persen," katanya.

Selama jangka waktu itu, Feri
telah beberapa kali berganti induk semang dan tentunya telah memiliki
pengalaman yang cukup banyak tentang perawatan kuda. Suatu saat, bila
telah ada uang, ia ingin pula punya kuda sendiri.

Keinginan Feri
tersebut, merupakan keinginan dari sekian banyak groom di Bukit
Ambacang yang kehidupannya saat ini jauh dari kesejahteraan. Di samping
banyak yang putus sekolah, mereka rata-rata tak berminat memiliki
pekerjaan lain. Mereka membayangkan bisa seperti Haji Sikumbang dan Dt.
Manindih, dua pengusaha peternakan kuda terkaya di kawasan itu.

Keinginan
tersebut saat ini mulai diwujudkan oleh beberapa warga. Di antaranya
adalah Uncu dan Safril, yang saat ini telah memiliki kuda sendiri.
"Tidak nyaman terus-terusan bekerja pada orang. Dengan punya kuda
sendiri, kita bisa dapat untung banyak," kata Uncu.

Dia
membeli 3 ekor kuda muda berumur 6 bulan seharga Rp 35 juta, dua tahun
lalu. Setahun kemudian satu diantaranya dia jual seharga pembelian 3
ekor tersebut. Berarti sekarang dia menikmati laba, dengan memiliki
tambahan 2 ekor lagi, anak dari kuda yang dibelinya yang dikawinkan
dengan kuda Australia. Dia harus membayar Rp 2,5-5 juta untuk satu kali
perkawinan kudanya dengan pejantan unggulan yang di sana cuma dimiliki
oleh H. Sikumbang dan Dt. Manindih.

"Perhitungan membeli kuda
harus masak. Bila tidak, maka kuda terbeli, makananya tidak. Alhasil,
jadilah kuda-kuda tersebut cuma akan diberi makan serupa kuda bendi,
dan tentu hasilnya nanti tidak maksimal," kata Feri.

Untuk
itulah dia saat ini hanya fokus pada pekerjaannya sebagai groom. Selagi
olah raga pacuan kuda terus digelar, Feri dan kawan-kawannya masih akan
bisa bertahan hidup dan membawa kuda di jalanan kampung itu serupa
koboi Arizona

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
Copyright © 2011. Andy Sutan Mudo . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates