Marosok
berlangsung antara penjual-pembeli seperti orang bersalam-salaman.
Tangan yang bersalaman itu selalu ditutupi benda lain, seperti sarung,
baju atau topi. Setiap jari melambangkan nilai uang.Tanah Datar: Ada
yang menarik di Pasar Ternak Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra
Barat, tiap Selasa.
Keunikan itu
bukan lantaran pasar yang hanya dibuka setiap Selasa, melainkan tingkah
laku para pelaku di pasar tersebut yang lain dari yang lain. Untuk
mengetahui lebih jauh tentang kekhasan di
Pasar Ternak Koto Baru, kesampingkan dulu segala pengetahuan tentang
pasar-pasar yang umumnya ada di Indonesia:
ramai serta
transaksi antara pedagang dan pembeli dilakukan secara terbuka. Soalnya,
aktivitas di Pasar Ternak Koto Baru jauh dari keramaian dan
keterbukaan. Sebaliknya, transaksi cukup dilakukan “berduaan” antara
penjual dan pembeli dengan menggunakan bahasa isyarat. Tanpa omongan,
pedagang-pembeli cukup bersalaman dan memainkan masing-masing jari
tangan untuk bertransaksi.
Masyarakat
setempat biasa menyebut tradisi ini dengan sebutan marosok yang
berlangsung di hari jual-beli ternak atau pakan taranak. Ada sekitar
seratus pemilik ternak dengan jumlah hewan antara 150 hingga 200 ekor
yang dijual di pasar itu. Marosok berlangsung antara penjual-pembeli
seperti orang bersalam-salaman.
Namun
begitu, kedua tangan yang berjabat tidak terlihat orang di luar
penjual-pembeli. Sebab, tangan yang bersalaman itu selalu ditutupi benda
lain, seperti sarung, baju atau topi. Tujuannya agar orang lain tak
melihat proses transaksi tersebut. Dengan begitu, harga ternak hanya
diketahui antara penjual dan pembeli.
Sewaktu
tawar menawar berlangsung, penjual dan pembeli saling menggenggam,
memegang jari, menggoyang ke kiri dan ke kanan. Jika transaksi berhasil,
setiap tangan saling melepaskan. Sebaliknya, jika harga belum cocok,
tangan tetap menggenggam erat tangan yang lain seraya menawarkan harga
baru yang bisa disepakati.
Dalam
marosok, setiap jari melambangkan angka puluhan, ratusan, ribuan, bahkan
jutaan rupiah. Semisal, pedagang ingin menjual ternaknya seharga Rp 6,4
juta, maka dia akan memegang telunjuk pembeli yang melambangkan sepuluh
juta rupiah. Setelah itu, empat jari yang lain digenggam dan digoyang
ke kiri. Ini berarti Rp 10 juta dikurangi Rp 4 juta. Sedangkan untuk
menunjukkan Rp 400 ribu, empat jari yang digoyang tadi digenggam lagi
dan dihentakkan. Bila disepakati, transaksi berakhir dengan harga Rp 6,4
juta.
Jika pembeli
ingin menawar seharga Rp 6,2 juta, maka ia cukup menggenggam dua jari
dan menggoyangnya ke kiri. Kalau ingin ditambah Rp 50 ribu lagi, pemilik
ternak akan memegang satu ruas jempol si pembeli sambil mematahkannya
ke bawah, maka harga ternak itu menjadi Rp 6,25 juta.
Para
pedagang ber-marosok agar harga ternak yang dibelinya tidak diketahui
oleh banyak orang. Transaksi berduaan seperti itu memang jamak dilakukan
di setiap pasar ternak, tentu saja dengan cara yang disepakati
masyarakat masing-masing daerah. Tak ada yang mengetahui secara pasti,
kapan marosok ini bermula. Sejumlah pedagang ternak hanya mengakui,
tradisi ini sudah dimulai sejak zaman raja-raja di Minangkabau dan
diterima secara turun temurun.(SID/Aldian)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.