Suatu ketika saya sedang menikmati
alunan lagu minang, entah kenapa telinga ini sedang rindu dengan
nada-nada yang memang saya akrab sejak kecil, terutama tarikan suara
Elly Kasim. Salah satu lagu favorit saya adalah Malereang Tabiang.
Malereang lah tabiang malereang, mak oi
Malereang sampai nan ka pandakian
Den sangko langik nan lah teleang, mak oi
Kironyo awan nan manggajuju
Lagu tersebut bercerita tentang
perjalanan menelusuri lereng-lereng tebing yang banyak dijumpai di Ranah
Minang yang memang banyak daerah perbukitannya.
Sore harinya Otty Widasari memberitahu
bahwa suaminya (Hafiz) ‘menemukan’ foto-foto Minang tempo dulu di situs
jejaring sosial Facebook. Orang yang memiliki foto tersebut bernama
Ronal Chandra. Kami pun dari akumassa minta izin kepada beliau untuk
memuat foto-foto tersebut di www.akumassa.org dan permintaan izin
tersebut disambutnya dengan baik.
Saya cukup terkesima ketika melihat
foto-foto perkeretaapian di Sumatera Barat, terutama jalur
Padang-Bukittinggi yang melewati Lembah Anai. Saya begitu menikmati
keindahan panoramanya ketika terakhir kali melewati kawasan tersebut
pada workshop akumassa Padangpanjang tahun lalu. Dengan
menyaksikan air mancur yang besar, kita juga dapat melihat kera hutan
yang jinak sepanjang Lembah Anai. Udaranya disana sangat sejuk, tak
terbayang betapa lebih indahnya pemandangan hutan lindung beserta jalur
kereta tersebut di awal peresmiannya di akhir tahun 1800-an dahulu.
Kebetulan, 21 Februari 2009 lalu, ketika workshop
akumassa Padangpanjang saya berkesempatan untuk menghadiri peresmian
kembali kereta Mak Uniang sebagai kereta wisata. Menariknya, jalur Mak
Uniang ini juga melewati lubang kalam (terowongan) dan jembatan Lembah Anai yang dibangun Belanda untuk menembus perbukitan.
Topografi Lembah Anai menyebabkan
kawasan ini sering terjadi longsor. Terlebih kawasan ini juga termasuk
daerah rawan gempa seperti Sumatera pada umumnya. Orang-orang tua dahulu
tidak akan lupa kenangan pahit pada 28 Juni 1926, di mana gempa sebesar
7,8 SR pernah melanda Padangpanjang dan sekitarnya. Menurut Riosadja,
kawan saya asal Bukittinggi yang baru beberapa bulan merantau di Jakarta
mengatakan bahwa saat itu sudah ada cerita turun-temurun yang beredar
di masyarakat tentang dashyatnya gempa tersebut. Digambarkan setelah
terjadi gempa, seluruh telur ayam menjadi tamalangan (tidak bisa menetas dan membusuk dalam cangkangnya).
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 16
April 2010 kawasan Lembah Anai dihantam longsor besar. Longsor tersebut
menyebabkan jembatan di dekat Lembah Anai rusak berat sehingga jalur
Padang-Bukittinggi terputus total. Menurut kawan saya yang tinggal di
Padangpanjang, sebelumnya curah hujan memang cukup tinggi dan turun
tanpa henti. Hal ini mengakibatkan volume air membesar dan meluluh lantakan jalanan yang mengitari bibir sungai di Lembah Anai ini.
Lembah Anai merupakan jalur utama yang menghubungkan kota kawasan ‘atas’ (darek) seperti Payakumbuh, Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang dan Solok dengan kota di kawasan ‘bawah’ (pasisia)
seperti Pariaman, Lubukbasung, Padang dan Painan. Jalur ini juga
merupakan jalur awal perekonomian di Sumatera Barat untuk mengangkut
hasil pertanian dari kawasan ‘atas’ ke ‘bawah’ dan hasil laut dari
kawasan ‘bawah’ ke ’atas’. Akan pentingnya jalur ini, maka Pemerintah
Belanda membangun jalur kereta api sebagai sarana transportasi. Setelah
didirikannya PT Semen Padang pada tahun 1910, kereta api juga digunakan
untuk mengangkut batubara dari Ombilin ke Padang. Ada juga dua jalur
besar lainnya yang menghubungkan ‘atas’ ke ‘bawah’ seperti Sitinjau Laut
dari arah Solok dan Kelok 44 dari arah Bukittinggi, tapi dengan jarak
dan waktu tempuh yang berbeda.
Foto-foto Lembah Anai tersebut kembali
mengingatkan Riosadja akan jalur yang selalu dilaluinya bolak-balik
Bukittinggi dan Padang saat kuliah di UNP (Universitas Negeri Padang).
Jalur yang akrab dengan pengamen dan penjaja paragede jaguang (perkedel
jagung) yang sigap melompat saat bus melambat di tikungan tajam dan
jalanan menanjak. Jalur yang sejuk berkabut tempat beristirahat saat
perjalanan; tempat berderet-deret rumah makan menyajikan masakan
khasnya. Dan saya pun hanya bisa berkata “Den takana jo kampuang”.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.