Jumat, 07 Oktober 2011

Foto Lembah Anai Tempo Dulu

Lereng tebing di rel sepanjanh Lembah Anai
Suatu ketika saya sedang menikmati alunan lagu minang, entah kenapa telinga ini sedang rindu dengan nada-nada yang memang saya akrab sejak kecil, terutama tarikan suara Elly Kasim. Salah satu lagu favorit saya adalah Malereang Tabiang.
Malereang lah tabiang malereang, mak oi
Malereang sampai nan ka pandakian
Den sangko langik nan lah teleang, mak oi
Kironyo awan nan manggajuju
Lagu tersebut bercerita tentang perjalanan menelusuri lereng-lereng tebing yang banyak dijumpai di Ranah Minang yang memang banyak daerah perbukitannya.

Lereng tebing di rel sepanjang Lembah Anai
Sore harinya Otty Widasari memberitahu bahwa suaminya (Hafiz) ‘menemukan’ foto-foto Minang tempo dulu di situs jejaring sosial Facebook. Orang yang memiliki foto tersebut bernama Ronal Chandra. Kami pun dari akumassa minta izin kepada beliau untuk memuat foto-foto tersebut di www.akumassa.org dan permintaan izin tersebut disambutnya dengan baik.
Lembah Anai, sebelum ada jalur kereta api
Lembah Anai, sebelum ada jalur kereta api
Saya cukup terkesima ketika melihat foto-foto perkeretaapian di Sumatera Barat, terutama jalur Padang-Bukittinggi yang melewati Lembah Anai. Saya begitu menikmati keindahan panoramanya ketika terakhir kali melewati kawasan tersebut pada workshop akumassa Padangpanjang tahun lalu. Dengan menyaksikan air mancur yang besar, kita juga dapat melihat kera hutan yang jinak sepanjang Lembah Anai. Udaranya disana sangat sejuk, tak terbayang betapa lebih indahnya pemandangan hutan lindung beserta jalur kereta tersebut di awal peresmiannya di akhir tahun 1800-an dahulu.
Peresmian jalur kereta api Padang Panjang pertama kali, tahun 1895
Peresmian jalur kereta api Padangpanjang pertama kali, tahun 1895
Pembukaan jalur kereta api Padang Panjang, sekitar tahun 1895
Pembukaan jalur kereta api Padangpanjang, sekitar tahun 1895
Kebetulan, 21 Februari 2009 lalu, ketika workshop akumassa Padangpanjang saya berkesempatan untuk menghadiri peresmian kembali kereta Mak Uniang sebagai kereta wisata. Menariknya, jalur Mak Uniang ini juga melewati lubang kalam (terowongan) dan jembatan Lembah Anai yang dibangun Belanda untuk menembus perbukitan.
Stasiun Padangpanjang tahun 1880-1900
Stasiun Padangpanjang tahun 1880-1900
Lembah Anai (1885-1895)
Lembah Anai (1885-1895)
Terowongan Anai, tahun 1910
Terowongan Lembah Anai, tahun 1910
Topografi Lembah Anai menyebabkan kawasan ini sering terjadi longsor. Terlebih kawasan ini juga termasuk daerah rawan gempa seperti Sumatera pada umumnya. Orang-orang tua dahulu tidak akan lupa kenangan pahit pada 28 Juni 1926, di mana gempa sebesar 7,8 SR pernah melanda Padangpanjang dan sekitarnya. Menurut Riosadja, kawan saya asal Bukittinggi yang baru beberapa bulan merantau di Jakarta mengatakan bahwa saat itu sudah ada cerita turun-temurun yang beredar di masyarakat tentang dashyatnya gempa tersebut. Digambarkan setelah terjadi gempa, seluruh telur ayam menjadi tamalangan (tidak bisa menetas dan membusuk dalam cangkangnya).
Hancurnya Stasiun Padangpanjang setelah gempa tahun 1926
Hancurnya Stasiun Padangpanjang setelah gempa tahun 1926
Akibat gempa tahun 1926
Akibat gempa tahun 1926
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 16 April 2010 kawasan Lembah Anai dihantam longsor besar. Longsor tersebut menyebabkan jembatan di dekat Lembah Anai rusak berat sehingga jalur Padang-Bukittinggi terputus total. Menurut kawan saya yang tinggal di Padangpanjang, sebelumnya curah hujan memang cukup tinggi dan turun tanpa henti. Hal ini mengakibatkan volume air membesar dan meluluh lantakan jalanan yang mengitari bibir sungai di Lembah Anai ini.
Kerusakan Lembah Anai karena longsor dan banjir tahun 1900-1940
Kerusakan Lembah Anai karena longsor dan banjir tahun 1900-1940
Kerusakan Lembah Anai karena longsor dan banjir tahun 1900-1940

Lembah Anai merupakan jalur utama yang menghubungkan kota kawasan ‘atas’ (darek) seperti Payakumbuh, Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang dan Solok dengan kota di kawasan ‘bawah’ (pasisia) seperti Pariaman, Lubukbasung, Padang dan Painan. Jalur ini juga merupakan jalur awal perekonomian di Sumatera Barat untuk mengangkut hasil pertanian dari kawasan ‘atas’ ke ‘bawah’ dan hasil laut dari kawasan ‘bawah’ ke ’atas’. Akan pentingnya jalur ini, maka Pemerintah Belanda membangun jalur kereta api sebagai sarana transportasi. Setelah didirikannya PT Semen Padang pada tahun 1910, kereta api juga digunakan untuk mengangkut batubara dari Ombilin ke Padang. Ada juga dua jalur besar lainnya yang menghubungkan ‘atas’ ke ‘bawah’ seperti Sitinjau Laut dari arah Solok dan Kelok 44 dari arah Bukittinggi, tapi dengan jarak dan waktu tempuh yang berbeda.
Jalur kereta arah Kayu Tanam sekitar tahun 1895
Jalur kereta arah Kayu Tanam sekitar tahun 1895
Pembangunan rel kereta Air Putih Payakumbuh tahun 1913
Pembangunan rel kereta Air Putih Payakumbuh tahun 1913
Stasiun Kereta Payakumbuh sekitar tahun 1900
Stasiun Kereta Payakumbuh sekitar tahun 1900

Foto-foto Lembah Anai tersebut kembali mengingatkan Riosadja akan jalur yang selalu dilaluinya bolak-balik Bukittinggi dan Padang saat kuliah di UNP (Universitas Negeri Padang). Jalur yang akrab dengan pengamen dan penjaja paragede jaguang (perkedel jagung) yang sigap melompat saat bus melambat di tikungan tajam dan jalanan menanjak. Jalur yang sejuk berkabut tempat beristirahat saat perjalanan; tempat berderet-deret rumah makan menyajikan masakan khasnya.  Dan saya pun hanya bisa berkata “Den takana jo kampuang”.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
Copyright © 2011. Andy Sutan Mudo . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates